Onta, Transportasi Haji Tempo Doeloe





Di bawah langit padang pasir yang membentang luas, ketika matahari menyala garang dan pasir berkilau seperti bara, berjalanlah kafilah panjang yang sarat doa dan harapan. Di antara denting lonceng kecil yang menggantung di leher hewan-hewan padang, para jamaah haji tempo dulu menempuh jalan menuju Rumah Tuhan bukan dengan kecepatan, tetapi dengan keteguhan. Dan onta—makhluk tabah yang tercipta untuk menaklukkan dahaga dan debu—menjadi saksi sunyi perjalanan suci itu.

Ketika kini kita duduk nyaman dalam kabin pesawat, terbang dari bandara internasional menuju Madinah hanya dalam hitungan jam, barangkali sulit membayangkan bagaimana para nenek moyang kita menapaki rukun Islam kelima dengan peluh dan perjuangan. Mereka berangkat dari tanah air berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan sebelum musim haji. Naik kapal uap dari pelabuhan-pelabuhan besar seperti Tanjung Priok, Makassar, atau Sabang. Sesampainya di pelabuhan Jeddah, perjalanan belumlah usai. Padang pasir masih harus dilintasi. Jalan masih panjang. Maka onta pun menjadi teman seperjalanan, kendaraan setia yang mengantar mereka menembus badai debu dan terik mentari.

Onta bukan hanya alat transportasi; ia adalah lambang kesabaran. Langkahnya yang lambat namun pasti, menjadi metafora dari perjalanan spiritual menuju Tuhan. Di atas punggung onta, jamaah menggantungkan harapan. Di antara guncangan pelana dan irama angin gurun, mereka melafalkan doa-doa yang tulus, menahan lapar dan haus, mengikat diri dalam kesabaran yang panjang.

Berjalan dalam rombongan kafilah, malam-malam dilewati dengan tidur beralas pasir dan berlangit bintang. Tidak ada AC, tidak ada pendingin, tidak ada sinyal untuk mengabari keluarga. Hanya ada dzikir yang terus mengalir, dan keyakinan bahwa setiap langkah, meski tertatih, mendekatkan mereka pada cinta Ilahi.

Kini, semua berubah. Zaman telah mengganti onta dengan bus dan kereta cepat. Perjalanan haji telah menjadi ritual yang lebih efisien, lebih aman, lebih nyaman. Namun, ada yang mungkin perlahan memudar—makna perjuangan itu sendiri. Ketika tubuh tak lagi letih, apakah hati kita masih rindu? Ketika perjalanan terasa mudah, apakah batin kita tetap bersungguh?

Kisah onta di tengah gurun, kisah debu dan peluh, bukan sekadar kenangan tua yang tersimpan dalam buku sejarah. Ia adalah cermin bagi kita hari ini—generasi yang hidup dalam kemudahan. Sudahkah kita menghayati makna haji dengan penuh ketulusan sebagaimana mereka yang dahulu menunggang onta dengan hanya bekal seadanya dan semangat yang tak pernah padam?

Mereka, yang pergi dengan harapan dan mungkin tak pernah kembali, menjadikan haji sebagai puncak pengorbanan. Ada yang wafat di tengah perjalanan dan dimakamkan di pasir-pasir sunyi, tanpa nisan, hanya langit yang menjadi penandanya. Tapi mungkin justru di situlah letak kemuliaannya: mati dalam perjalanan cinta kepada Allah.

Onta-onta itu, kini mungkin hanya muncul dalam cerita, dalam foto hitam putih di museum, atau dalam kisah kakek nenek yang masih kita dengar di kampung halaman. Tapi biarlah kisah mereka tetap hidup, menjadi sumber inspirasi, bahwa untuk menuju Tuhan, kita butuh lebih dari sekadar ongkos dan fasilitas—kita butuh jiwa yang siap bersabar, hati yang siap berkorban, dan iman yang tak mengenal lelah.

Mari kita kenang kembali onta, bukan sebagai nostalgia romantis, tetapi sebagai pesan abadi: bahwa perjalanan menuju Allah adalah perjalanan yang penuh ujian, namun sangat indah bila dijalani dengan keikhlasan.

Wallohu a'lam 

Etika Penyiaran Islam di Era Post-Truth


Kita tengah hidup di sebuah era ketika kebenaran menjadi relatif, emosi mendominasi nalar, dan informasi berlimpah tak selalu membawa pencerahan. Inilah zaman yang oleh banyak ilmuwan komunikasi dan filsuf media disebut sebagai post-truth era. Dalam Kamus Oxford, post-truth dimaknai sebagai “kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.” Artinya, dalam ruang komunikasi publik hari ini, yang paling menentukan bukan lagi bukti atau data, tetapi siapa yang paling emosional, paling dramatis, dan paling mampu membentuk narasi yang viral.

Fenomena ini tentu berdampak sangat besar terhadap semua aspek kehidupan, termasuk terhadap agama dan penyiaran nilai-nilai Islam. Bila dahulu umat menggantungkan pemahaman agama pada ulama dan lembaga otoritatif, kini siapa pun dapat menjadi "ustaz" dadakan di kanal YouTube, TikTok, atau podcast. Ada yang membawa pencerahan, namun tak sedikit pula yang memancing keresahan.

Oleh karena itu, penyiaran Islam tidak dapat lagi berjalan secara mekanistik atau sekadar berbasis teknologi. Ia harus dilandasi oleh kesadaran etik yang mendalam, karena dalam penyiaran agama terdapat nilai-nilai ilahiah yang tidak bisa diperlakukan sembarangan. Etika penyiaran Islam harus menjadi kompas di tengah gelombang disinformasi dan narasi destruktif.

Penyiaran Islam: Antara Dakwah dan Disrupsi Digital

Penyiaran Islam adalah bagian dari dakwah yang menggunakan media massa—baik tradisional maupun digital—untuk menyampaikan pesan-pesan keislaman kepada publik. Dalam sejarahnya, penyiaran Islam sempat berkembang pesat melalui radio dakwah, televisi Islam, hingga kini menembus ruang digital dengan kanal-kanal seperti YouTube, Instagram, dan TikTok. Namun, seiring berkembangnya teknologi, muncul pula berbagai tantangan baru.

Kehadiran algoritma media sosial yang bekerja berdasarkan engagement (suka, komentar, dan share) memaksa para kreator konten untuk memproduksi materi yang "menjual". Ironisnya, yang paling laku justru bukan konten edukatif yang mendalam, tetapi konten kontroversial, provokatif, bahkan penuh ujaran kebencian. Di sinilah krisis etika penyiaran Islam mulai tampak: ketika konten dakwah dikodifikasi demi klik dan keuntungan finansial, bukan lagi sebagai amanah ilahiah.

Lebih berbahaya lagi, ketika penyiaran Islam dijadikan alat untuk polarisasi politik, propaganda sektarian, atau penyesatan informasi dengan balutan dalil. Maka yang terjadi bukanlah dakwah yang menyejukkan, melainkan dakwah yang justru membelah masyarakat. Semua itu adalah buah dari absennya kerangka etika dalam penyiaran Islam di tengah era post-truth.

Fondasi Etika dalam Penyiaran Islam

Dalam Islam, komunikasi dan penyampaian informasi sangat terkait dengan akhlak. Nabi Muhammad SAW dikenal bukan hanya sebagai pembicara yang fasih, tetapi juga sebagai pribadi yang paling amanah, jujur, dan lembut dalam menyampaikan pesan. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini menjadi dasar bahwa komunikasi dakwah dalam Islam harus dibangun atas tiga pilar utama:

1. Hikmah (kebijaksanaan): Menyesuaikan cara penyampaian dengan kondisi audiens dan konteks sosial.

2. Mau'izhah hasanah (nasihat yang baik): Memberikan motivasi dan pelajaran dengan kelembutan, bukan dengan ancaman atau tekanan.

3. Mujadalah bil-lati hiya ahsan (diskusi dengan cara terbaik): Tidak memaksakan pendapat, tetapi membuka ruang dialog yang konstruktif.

Etika penyiaran Islam juga harus mencakup prinsip-prinsip sebagai berikut:

Tabayyun: Verifikasi kebenaran informasi, apalagi jika menyangkut aib, fitnah, atau penilaian terhadap kelompok lain.

Tawaqquf: Menahan diri dalam hal yang belum pasti, apalagi jika tidak memiliki kapasitas ilmiah untuk membahasnya.

Amanah: Menyadari bahwa setiap kata dalam penyiaran adalah amanat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Adil: Tidak memihak atau bersikap tendensius dalam menyampaikan isu agama.

Penyiaran Islam di Era Post-Truth: Antara Tantangan dan Harapan

Tantangan besar di era ini adalah bagaimana tetap menyampaikan dakwah Islam yang otentik, jernih, dan etis, di tengah budaya viral yang yang dan berisik. Apakah mungkin? Jawabannya: sangat mungkin, asalkan para pelaku penyiaran Islam—terutama generasi muda dari Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)—memiliki komitmen etik yang kuat.

Mahasiswa KPI tidak hanya belajar menjadi penyiar, tetapi harus dididik sebagai komunikator nilai dan agen perubahan sosial. Mereka harus membangun konten dakwah yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi kaya secara intelektual dan spiritual. Mereka harus mampu menghadirkan Islam sebagai agama kasih, bukan sebagai agama yang mudah menghakimi.

Profi atau jurusan KPI juga perlu melakukan inovasi kurikulum yang memadukan ilmu komunikasi, studi Islam, dan etika digital. Tidak cukup hanya mengajarkan teknik siaran atau editing video, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, literasi media, dan adab dalam berbicara.

Menuju Dakwah yang Mencerahkan

Etika bukan pelengkap, tetapi fondasi dari penyiaran Islam yang berkualitas. Era post-truth memang memunculkan tantangan besar, tetapi juga membuka peluang emas: yakni menjadikan penyiaran Islam sebagai obor penerang di tengah gelapnya kebingungan informasi.

Penyiaran Islam yang etis tidak akan viral karena kebencian, tetapi akan lestari karena kebenaran. Ia tidak akan memecah belah, tetapi menyatukan. Tidak membakar, tetapi menyejukkan. Inilah cita-cita besar yang harus diusung oleh mahasiswa KPI, akademisi dakwah, dan seluruh pelaku media Islam.

Mari kita kembalikan ruh dakwah ke jalan yang benar: jalan yang menyinari hati, bukan memanaskan kepala. Jalan yang menuntun dengan kasih, bukan menakut-nakuti dengan amarah. Dan semua itu hanya mungkin terjadi jika kita memulai dengan satu kata kunci: etika atau akhlak.

Wallahu a'lam

Kota Makah dan Nabi Ibrahim a.s. (Kota Suci yang Dibangun Dengan Cinta Ilahi


Kota Makkah bukan sekadar kota tua di jazirah Arab. Ia adalah jantung spiritual dunia Islam, pusat pertemuan umat manusia yang datang dari segala penjuru bumi dengan tujuan yang satu: mencari kedekatan dengan Allah Swt. Namun, di balik kemegahannya sebagai pusat ibadah dan kiblat umat Islam, Makkah menyimpan kisah yang lebih dalam—kisah tentang keimanan, pengorbanan, dan cinta Ilahi yang tercermin dalam kehidupan Nabi Ibrahim 'alaihissalam.

Makkah tidak dibangun oleh seorang raja atau kekaisaran. Tidak ada sejarah kejayaan politik atau militer yang menjadi fondasi kota ini. Makkah dibangun di atas penghambaan seorang manusia kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim—seorang nabi, seorang ayah, dan seorang kekasih Allah—adalah sosok yang meletakkan dasar spiritual kota ini, bukan dengan tangan penuh kekuasaan, tapi dengan hati penuh keikhlasan.

Ketaatan di Tengah Tanah Gersang

Saat Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan istrinya Siti Hajar dan anaknya Ismail di lembah yang tandus, jauh dari keramaian manusia dan kehidupan, mungkin bagi manusia biasa hal itu terdengar kejam dan tak masuk akal. Namun bagi Ibrahim as, perintah itu adalah ujian keimanan yang harus dijalankan sepenuh hati. Ia tidak membantah. Ia tidak mempertanyakan. Ia yakin bahwa perintah Allah tidak akan membawa keburukan.

Lalu, muncullah doa yang abadi, tercatat dalam Al-Qur’an:

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati (Baitullah), ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)

Ayat ini menjadi saksi spiritual atas keyakinan Nabi Ibrahim bahwa suatu saat nanti, tanah tandus ini akan menjadi pusat peradaban tauhid. Keyakinan ini bukan berdasarkan logika dunia, tetapi logika langit: bahwa cinta kepada Allah akan membuahkan keajaiban.

Air Zamzam dan Kehidupan Baru

Setelah Nabi Ibrahim pergi, Siti Hajar yang ditinggal bersama Ismail kecil tak memiliki apa-apa. Namun keimanan seorang ibu tak kalah hebat dari keimanan seorang nabi. Ia berlari antara bukit Shafa dan Marwah, mencari air untuk bayinya. Tujuh kali ia berusaha, hingga akhirnya mukjizat terjadi: air zamzam memancar dari tanah tempat Ismail menghentakkan kakinya.

Zamzam bukan sekadar air. Ia adalah simbol kasih Allah atas hamba-Nya yang beriman. Ia adalah jawaban dari pengorbanan dan doa. Dari situ, kehidupan dimulai. Kafilah-kafilah mulai berdatangan. Makkah perlahan-lahan menjadi kota yang ramai.

Pembangunan Ka'bah: Monumen Cinta Ilahi

Beberapa tahun kemudian, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membangun Ka'bah bersama putranya, Ismail. Inilah momen penting dalam sejarah Makkah. Ka'bah dibangun bukan sebagai monumen kekuasaan atau kebanggaan keluarga tertentu, melainkan sebagai tempat suci, sebagai pusat ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Allah Swt berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): 'Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'” (QS. Al-Baqarah: 127)

Bangunan itu didirikan dengan batu, namun fondasinya adalah cinta Ilahi. Ka'bah menjadi simbol bahwa peradaban terbaik adalah peradaban yang dibangun di atas penghambaan, bukan kesombongan.

Makna Makkah bagi Dunia Hari Ini

Di zaman modern, kota-kota besar dibangun dengan teknologi, uang, dan strategi geopolitik. Tapi tidak dengan Makkah. Ia terus menjadi pusat spiritual dunia selama ribuan tahun karena dibangun di atas nilai-nilai ketulusan, doa, dan cinta kepada Allah Swt. Ia tidak hanya menjadi tempat haji dan umrah, tetapi menjadi panggilan abadi bagi hati yang rindu kepada Allah Swt.

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini?

Pertama, bahwa cinta kepada Allah Swt adalah kekuatan terbesar untuk membangun kehidupan. Nabi Ibrahim rela meninggalkan anak dan istri bukan karena tidak cinta, tetapi karena cintanya kepada Allah jauh lebih besar. Dan justru karena cinta itu, Allah membalasnya dengan cinta yang lebih besar lagi: menjadikan keturunannya nabi-nabi, menjadikan Makkah kota suci, dan mengabadikan namanya dalam setiap shalat umat Islam.

Kedua, bahwa pengorbanan dan kesabaran akan menghasilkan kemuliaan. Dalam kehidupan pribadi, sosial, bahkan dalam membangun peradaban, tidak ada jalan pintas menuju keberkahan selain melalui kesabaran dan keikhlasan.

Ketiga, bahwa spiritualitas harus menjadi fondasi pembangunan. Banyak kota modern yang megah namun kehilangan jiwa karena dibangun tanpa nilai-nilai ilahiah. Makkah mengajarkan bahwa kota bisa menjadi pusat dunia bukan karena gemerlapnya, tapi karena ia menjadi pusat hati manusia.

Penutup: Menjadi Pewaris Cinta Ilahi

Sekarang ini, kita adalah pewaris spiritual dari Nabi Ibrahim. Setiap kali kita menunaikan ibadah haji atau umrah, setiap kali kita menghadapkan wajah ke arah Ka'bah dalam shalat, kita sejatinya sedang mengingat dan menyambung cinta itu. Kita diajak bukan hanya mengagumi kota suci Makkah, tapi juga menghidupkan semangat cinta Ilahi yang telah menumbuhkannya.

Semoga kita mampu menjadikan setiap kota, rumah, bahkan hati kita sebagai “Makkah kecil”—tempat yang dibangun dengan nilai-nilai keimanan, pengorbanan, dan keikhlasan. Karena hanya dengan cinta Ilahi, kehidupan akan menemukan maknanya yang sejati.

Wallohu a'lam 

Ibadah Haji (Napak Tilas Jejak Tauhid Nabi Ibrahim as


Ibadah Haji (Napak Tilas Jejak Tauhid Nabi Ibrahim a.s.)

Ibadah haji adalah puncak dari rukun Islam. Ia merupakan perwujudan total dari ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, bukan hanya melalui ucapan, melainkan tindakan nyata yang menuntut kesiapan fisik, mental, dan spiritual. Namun, lebih dari itu, haji sejatinya adalah sebuah napak tilas—sebuah perjalanan menelusuri kembali jejak spiritual Nabi Ibrahim a.s., sang Bapak Tauhid.

Ketika jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci, mereka tidak sedang menjalani ibadah biasa. Mereka sedang menelusuri kembali jejak perjuangan Nabi Ibrahim, seorang nabi yang namanya diabadikan dalam banyak agama samawi, namun dalam Islam ia mendapatkan tempat istimewa sebagai teladan tauhid dan pengorbanan. Allah SWT berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai imam (teladan) bagi seluruh manusia.'”

(QS. Al-Baqarah: 124)

Jejak Sejarah yang Disucikan

Setiap elemen dalam haji bukan sekadar simbol ritual, tetapi rekonstruksi nyata dari kisah perjuangan Ibrahim dan keluarganya dalam menegakkan tauhid. Ketika beliau meninggalkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail di padang tandus Makkah atas perintah Allah, ia tidak menyisakan ragu dalam hatinya. Hajar pun dengan sabar menerima takdir itu, sambil bertanya, “Apakah ini perintah dari Allah?” Ketika dijawab "ya", ia pun berkata, “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.”

Dan benar. Dari kesabaran itu, mengalirlah air zamzam yang sampai hari ini menjadi simbol keberkahan dan penyambung hidup jutaan orang. Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah adalah bentuk penghormatan terhadap perjuangan seorang ibu, dan keteguhan keyakinannya kepada Allah.

Spirit Pengorbanan: Ujian Puncak Seorang Nabi

Namun ujian Ibrahim tak berhenti di situ. Ketika Ismail tumbuh menjadi remaja yang shalih dan menjadi cahaya kehidupan sang ayah, Allah menguji Ibrahim dengan perintah yang nyaris tak masuk akal secara logika manusia: menyembelih anak kandungnya sendiri. Namun Ibrahim tidak mengedepankan logika, melainkan iman. Ismail pun tidak menolak, tetapi justru mendukung: “Wahai ayahku, laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Inilah puncak tauhid. Ketika cinta kepada Allah mengalahkan cinta kepada anak, istri, bahkan dirinya sendiri. Maka tak heran, Allah pun menggantikan Ismail dengan seekor hewan sembelihan dan mengabadikan momen ini dalam ibadah kurban setiap Idul Adha, serta menjadikannya bagian dari semangat haji.

Haji Sebagai Pendidikan Jiwa

Setiap orang yang berangkat haji sesungguhnya sedang menempuh sebuah “madrasah” spiritual. Di sana ia melepaskan atribut duniawi: pangkat, jabatan, status sosial, bahkan nama. Ia hanya dikenal sebagai "Haji Fulan bin Fulan". Mereka semua mengenakan pakaian yang sama, ihram yang putih bersih, seolah sedang mengenakan kain kafan. Pesan yang hendak disampaikan jelas: di hadapan Allah, semua manusia sama.

Wukuf di Arafah menjadi momen klimaks. Di sanalah para jamaah menangis, berdoa, dan bermunajat, menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan kebesaran Ilahi. Rasulullah SAW bersabda:

“Haji adalah Arafah.”

(HR. Abu Dawud)

Seolah-olah tanpa Arafah, haji kehilangan rohnya. Karena di sanalah manusia dituntut melakukan perenungan terdalam tentang kehidupan, dosa-dosa, dan makna pengabdian.

Dari Ibrahim Menuju Kita: Tauhid di Tengah Modernitas

Meneladani Ibrahim bukan berarti harus hidup di padang pasir, tetapi menanamkan nilai-nilai yang beliau wariskan: keikhlasan, kepatuhan tanpa syarat, dan pengorbanan yang tulus untuk agama. Di tengah dunia yang serba instan dan materialistik, nilai-nilai haji adalah benteng yang mengingatkan kita untuk tidak diperbudak dunia.

Haji adalah momentum untuk melepaskan ego, menundukkan nafsu, dan membangun kembali jembatan rohani yang mungkin sudah rapuh. Ketika seseorang pulang dari haji, ia bukan hanya membawa gelar "haji", tetapi membawa misi: untuk menjadi pribadi baru yang lebih dekat dengan Allah, lebih baik kepada sesama, dan lebih kuat memegang prinsip-prinsip tauhid dalam kehidupan.

Menjadi Ibrahim Zaman Ini

Mari kita maknai haji sebagai napak tilas agung dalam meniti jalan ketauhidan. Kita tidak harus berada di Makkah untuk belajar dari Ibrahim, karena jejak beliau telah diabadikan dalam setiap ibadah, dalam setiap pengorbanan yang kita lakukan demi kebenaran. Menjadi Ibrahim zaman ini artinya adalah menjadi pribadi yang berani berkata "tidak" kepada syirik modern—entah itu dalam bentuk cinta dunia, egoisme, atau penghambaan kepada selain Allah.

Semoga ibadah haji terus menjadi madrasah peradaban tauhid, yang tidak hanya mengubah individu, tetapi juga masyarakat dan dunia.

Ayat-Ayat Allah di Tubuh Manusia


Ayat-Ayat Allah di Tubuh Manusia

(Refleksi Ilmiah dan Keimanan)

Tubuh manusia bukan sekadar susunan sel, jaringan, dan organ yang bekerja secara mekanistik. Ia adalah kitab terbuka yang mengandung ayat-ayat Allah, yang bisa dibaca oleh siapa pun yang mau merenung. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan di dalam diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21). Ayat ini menegaskan bahwa tubuh manusia adalah ruang tafsir spiritual dan ilmiah yang tak pernah habis dikaji.

Betapa luar biasanya sistem peredaran darah yang memompa kehidupan ke seluruh tubuh, sistem saraf yang menjadi pusat kendali yang lebih rumit dari superkomputer mana pun, dan sistem imun yang bekerja tanpa lelah layaknya tentara penjaga siang dan malam. Semua itu bekerja tanpa campur tangan kesadaran kita—sebuah bukti konkret bahwa ada kekuatan Mahabesar yang mengatur harmoni ini.

Ilmu kedokteran modern terus mengungkap misteri penciptaan manusia, dari proses pembentukan embrio hingga kecerdasan otak yang mampu menghafal jutaan informasi. Namun seiring dengan itu, ilmuwan yang jujur pada pencarian kebenaran pun harus mengakui: semakin dalam manusia menggali, semakin besar rasa takjub terhadap Sang Pencipta. Sains, alih-alih menjauhkan manusia dari Tuhan, justru menjadi jembatan untuk semakin tunduk pada-Nya.

Refleksi ini menjadi penting, terutama di era di mana manusia sering terjebak pada glorifikasi akal dan teknologi. Ketika keajaiban tubuh dianggap biasa, manusia kehilangan rasa syukur dan lupa bersujud. Padahal, tubuh yang sehat, jantung yang berdetak, dan udara yang bisa dihirup setiap detik adalah anugerah yang tak ternilai. Tubuh bukan sekadar mesin biologis, melainkan tanda-tanda (ayat) yang mengarah kepada tauhid.

Maka, mari kita menjadikan tubuh kita bukan hanya sebagai alat untuk bertahan hidup, tetapi juga sebagai wahana tafakur. Menjaganya adalah ibadah. Merenunginya adalah dzikir. Memahaminya adalah ilmu. Dan mengakui keagungan di baliknya adalah iman.

Karena sesungguhnya, di balik setiap napas yang kita hirup, terdapat kalimat sunyi yang berseru: Allah Maha Kuasa.

Wallohu a'lam 

Demam Demul (Spirit Hari Kebangkitan Nasional)


Ketika Gubernur Konten Menyentil Gubernur yang Molor

Dalam dunia perpolitikan yang kadang terlalu serius sampai-sampai lupa senyum, tiba-tiba muncul sosok Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang blak-blakan berkata:

“Lebih baik jadi Gubernur yang bikin konten daripada Gubernur molor, jalan-jalan, dan doyan dihormati.”

Sekejap, ruang sidang opini publik mendadak ramai. Ada yang tertawa geli, ada yang mangut-mangut, ada pula yang mendadak merasa tersindir—mungkin karena merasa cocok dengan salah satu kategori yang disebut.

Fenomena “Demam Demul” ini menarik. Dedi tak sedang sekadar narsis atau jualan citra. Ia sedang menampar halus budaya pejabat yang hidup nyaman dalam rutinitas protokoler, tapi alergi dengan kerja lapangan dan komunikasi publik yang nyata. Di zaman ketika rakyat lebih percaya netizen daripada juru bicara resmi, konten menjadi jembatan. Dan Dedi paham betul cara melintasinya.

Coba bandingkan: satu pejabat sibuk menghadiri seminar dengan pidato yang ditulis staf, diliput media arus utama yang pembacanya semakin sepi. Sementara Dedi? Ia menyapa rakyat lewat video, memperlihatkan realitas, menyentuh hati, dan—ya—menghasilkan uang dari itu. Mengapa harus malu?

Kebangkitan Nasional seharusnya bukan sekadar menghafal tanggal 20 Mei atau mengenang Budi Utomo. Ia adalah momentum refleksi: siapa yang benar-benar bangkit hari ini? Rakyat, atau pejabat? Kaum muda kreatif, atau birokrat tua yang sibuk selfie sambil studi banding ke Eropa?

Dedi tahu, akan selalu ada “kaum nyinyir” yang sinis dengan segala gaya baru. Tapi bukankah bangsa besar dibentuk oleh keberanian mencoba hal-hal baru—bahkan ketika itu belum dimengerti semua orang?

Mungkin sudah saatnya kita redefinisi pemimpin zaman ini. Tak cukup hanya paham etika protokoler, tapi harus bisa jadi content creator perubahan, influencer kebijakan publik, dan storyteller yang membuat rakyat merasa didengar. Kalau bisa kerja nyata sambil viral, kenapa harus pilih yang tidur diam-diam?

Jadi, jika hari ini banyak pejabat yang kepanasan dengan pernyataan Gubernur Demul, mungkin bukan karena tidak setuju—tapi karena tersindir. Dan seperti kata pepatah lama:

“Yang kepanasan, biasanya memang sedang duduk di atas kompor.”

Wallohu a'lam 

Haji vs Selfie (Saat Lensa Mengaburkan Niat)


Ibadah haji adalah puncak spiritualitas dalam Islam. Ia bukan hanya rukun Islam kelima, tetapi juga sebuah perjalanan suci yang menguji keikhlasan, kesabaran, dan penyerahan total seorang hamba kepada Tuhannya. Namun di era digital, ketika segalanya bisa dijadikan konten, nilai-nilai haji pun mulai tergerus oleh semangat dokumentasi berlebihan. Muncullah fenomena yang kian lazim: berhaji sambil berselfie.

Tidak ada yang salah dengan mengabadikan momen berharga, termasuk ketika menunaikan ibadah haji. Teknologi bukan musuh, dan media sosial bisa menjadi sarana berbagi inspirasi. Namun, menjadi persoalan ketika kamera mulai mengambil alih peran hati, ketika niat ibadah mulai terdistorsi oleh keinginan untuk tampil dan dipuji.

Fenomena ini bisa dilihat dari maraknya unggahan thawaf dengan senyum menghadap kamera, video live saat wukuf di Arafah, atau foto-foto dengan caption puitis yang dirancang agar viral. Ibadah yang seharusnya dilakukan dalam khusyuk dan kekhusyuan justru berubah menjadi sesi pemotretan bergaya religius. Seakan-akan nilai haji bisa dinilai dari jumlah likes dan komentar netizen.

Padahal, haji adalah tentang menanggalkan identitas duniawi—termasuk ego dan gengsi. Mengenakan ihram menyimbolkan kesetaraan, membuang status sosial, dan meletakkan diri sepenuhnya di hadapan Allah. Maka menjadi ironi ketika ibadah ini justru digunakan untuk membangun citra dan memperkuat personal branding.

Lebih jauh lagi, fenomena ini menunjukkan krisis niat. Kita perlu mengingat sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim). Haji yang sejatinya menjadi momentum pembersihan hati bisa kehilangan makna jika dilakukan untuk kepentingan pencitraan.

Imam Al-Ghazali pun telah mengingatkan: “Jangan tertipu oleh amal yang terlihat, sebab niat yang tersembunyi lebih jujur dalam menilai dirimu.” Inilah esensi ibadah: bukan pada tampilannya, tapi pada kemurnian hatinya.

Kita perlu bertanya kepada diri sendiri: ketika kita menatap Ka'bah, adakah kita lebih sibuk menata hati atau menata angle foto? Ketika kita bermunajat di Arafah, adakah kita lebih peduli pada kualitas doa atau kualitas kamera? Jika haji hanya menjadi panggung digital, mungkin kita belum benar-benar hadir sebagai peziarah, melainkan hanya sebagai pencerita.

Mari kembalikan haji ke fitrahnya: sebagai perjalanan ruhani, bukan strategi konten. Sebagai bentuk penghambaan, bukan ajang eksistensi. Sebab sejatinya, ibadah adalah ketika hanya Allah yang melihat—dan itu sudah lebih dari cukup.

Haji adalah mihrab, bukan panggung.

Dan mihrab, tempat paling sakral dalam kehidupan seorang mukmin, tidak memerlukan penonton.

Wallohu a'lam